Cerita seks tetanggaku jadi pemuas nafsuku,namaku aldi aku menempati rumah ini
sejak lima tahun yang lalu, dulunya sendiri saja, namun sejak satu tahun lalu
aku menikah dan kini tinggal berdua dengan Lia, isteriku. Lia adalah seorang
wanita yang cantik dan penuh perhatian, sekilas tidak ada yang kurang darinya.
Apalagi dia juga bekerja sebagai Manajer Marketing di sebuah perusahaan
farmasi, jadi keluarga kami secara keuangan tidak punya masalah.
Kehidupan perkawinanku
yang selama ini kuanggap bahagia itu ternyata semu belaka. Sialnya, hal itu
disebabkan seperti kata pepatah di atas:”Rumput tetangga selalu lebih hijau”.
Aku mempunyai tetangga
baru, sepasang suami isteri dengan satu anak yang masih bayi. Suaminya seorang
pelaut (anak buah kapal) dan isterinya ibu rumah tangga. Pada awalnya aku tidak
terlalu peduli dengan kehadiran tetangga baru itu, walaupun ketika mereka
datang memperkenalkan diri ke rumah aku sedikit terpukau dengan sang isteri
yang punya body seksi dan montok. Pada saat itu aku merasa keterpukauanku
hanyalah hal biasa saja.
Namun waktu berkata lain.
Ternyata setelah berinteraksi dengan Vera, begitu nama tetanggaku yang montok
itu, aku mulai merasa ada daya tarik yang muncul dari wanita itu. Ada beberapa
kelebihan yang dimiliki Vera namun tidak dimiliki Lia, isteriku.
Pertama tentu saja
body-nya yang montok, dengan dada yang menjulang dan pantat yang besar namun
padat. Walaupun Lia juga seksi, namun ukuran buah dadanya cuma 34 B. Kalau Vera
kutaksir mungkin antara 36 B atau 36 C. Apalagi pantatnya yang bahenol itu tak
kalah merangsang dibanding pantat”Inul”, membuat pria penasaran untuk
meremasnya.
Kedua, wajah Vera yang
sensual. Kalau urusan cantik, pasti aku pilih Lia, namun ketika aku melihat
wajah Vera, maka aku membayangkan bintang film BF. Mungkin pengaruh dari
bibirnya yang agak tebal dan matanya yang nakal. Setiap kulihat bibir itu
berbicara, ingin rasanya aku merasakan ciuman dan kulumannya yang membara.
Ketiga adalah selera
berbusananya, terutama selera pakaian dalamnya. Pertama kali aku melihat
jemuran pakaian di belakang rumah mereka, aku langsung tertarik pada pakaian
dalam Vera yang dijemur. Model dan warnanya beraneka macam, mulai dari celana
dalam warna hitam, biru, merah, hijau sampai yang transparan. Modelnya mulai
dari yang biasa-biasa saja sampai model G-string. Motifnya dari yang polos
sampai yang bermotif bunga, polkadot, gambar lucu sampai ada yang bergambar
bibir. Wah.. Lia tidak suka seperti itu, menurutnya kampungan dan seperti
pelacur jalanan. Padahal sebagai lelaki kadang kita ingin sekali bermain seks
dengan perempuan jalanan.
Tiga hal itulah yang
membuat aku selalu menyempatkan untuk curi-curi pandang pada Vera dan tak lupa
melihat jemuran pakaiannya untuk melihat koleksi pakaian dalamnya yang”jalang”
itu.
Suatu hari, sepulang dari
kantor, aku mampir ke Supermarket dekat kompleks sekedar membeli makanan instan
karena isteriku akan pergi selama dua hari ke Bandung. Tak disangka di supermarket
itu aku bertemu Vera dengan menggendong bayinya. Entah kenapa jantungku jadi
berdegup keras, apalagi ketika kulihat pakaian Vera yang body-fit, baik kaos
maupun roknya. Seluruh lekuk kemontokan tubuhnya seakan memanggil birahiku
untuk naik.
“Hai.. Mbak, belanja
juga?” sapaku.
“Eh.. Mas Aldi, biasa belanja susu”, jawabnya dengan senyum menghiasi wajah sensualnya.
“Memang sudah enggak ASI ya?” tanyaku.
“Wah.. Susunya cuma keluar empat bulan saja, sekarang sudah tidak lagi”.
“Hmm.. Mungkin habis sama Bapaknya kali ya.. Ha-ha-ha..” candaku.
Vera juga tertawa kecil, “Tapi enggak juga, sudah dua bulan bapaknya enggak pulang”.
“Berat enggak sih Mbak, punya suami pelaut, sebab saya yang ditinggal isteri cuma dua hari saja rasanya sudah jenuh”.
“Wah.. Mas baru dua hari ditinggal sudah begitu, apalagi saya. Bayangkan saya cuma ketemu suami dua minggu dalam waktu tiga bulan”.
“Eh.. Mas Aldi, biasa belanja susu”, jawabnya dengan senyum menghiasi wajah sensualnya.
“Memang sudah enggak ASI ya?” tanyaku.
“Wah.. Susunya cuma keluar empat bulan saja, sekarang sudah tidak lagi”.
“Hmm.. Mungkin habis sama Bapaknya kali ya.. Ha-ha-ha..” candaku.
Vera juga tertawa kecil, “Tapi enggak juga, sudah dua bulan bapaknya enggak pulang”.
“Berat enggak sih Mbak, punya suami pelaut, sebab saya yang ditinggal isteri cuma dua hari saja rasanya sudah jenuh”.
“Wah.. Mas baru dua hari ditinggal sudah begitu, apalagi saya. Bayangkan saya cuma ketemu suami dua minggu dalam waktu tiga bulan”.
Aku merasa gembira dengan
topik pembicaraan ini, namun sayang pembicaraan terhenti karena bayi Vera
menangis. Ia kemudian sibuk menenangkan bayinya.
“Apalagi setelah punya
bayi, tambah repot Mas”, katanya.
“Kalau begitu biar saya bantu bawa belanjaannya”, aku mengambil keranjang belanja Vera.
“Terima kasih, sudah selesai kok, saya mau bayar terus pulang”.
“Ohh.. Ayo kita sama-sama”, kataku.
“Kalau begitu biar saya bantu bawa belanjaannya”, aku mengambil keranjang belanja Vera.
“Terima kasih, sudah selesai kok, saya mau bayar terus pulang”.
“Ohh.. Ayo kita sama-sama”, kataku.
Aku segera mengambil
inisiatif berjalan lebih dulu ke kasir dan dengan sangat antusias membayar
semua belanjaan Vera.
“Ha.. Sudah bayar? Berapa?
Nanti saya ganti”, kata Vera kaget.
“Ah.. Sedikit kok, enggak apa sekali-kali saya bayarin susu bayinya, siapa tahu dapat susu ibunya, ha-ha-ha..”, aku mulai bercanda yang sedikit menjurus.
“Ihh.. Mas Aldi!” jerit Vera malu-malu. Namun aku melihat tatapan mata liarnya yang seakan menyambut canda nakalku.
“Ah.. Sedikit kok, enggak apa sekali-kali saya bayarin susu bayinya, siapa tahu dapat susu ibunya, ha-ha-ha..”, aku mulai bercanda yang sedikit menjurus.
“Ihh.. Mas Aldi!” jerit Vera malu-malu. Namun aku melihat tatapan mata liarnya yang seakan menyambut canda nakalku.
Kami berjalan menuju
mobilku, setelah menaruh belanjaan ke dalam bagasi aku mengajaknya makan dulu.
Dengan malu-malu Vera mengiyakan ajakanku.
Kami kemudian makan di
sebuah restauran makanan laut di dekat kompleks. Aku sangat gembira karena
semakin lama kami semakin akrab dan Vera juga mulai berbaik hati memberikan
kesempatan padaku untuk “ngelaba”. Mulai dari posisi duduknya yang sedikit
mengangkang sehingga aku dengan mudah melihat kemulusan paha montoknya dan
tatkala usahaku untuk melihat lebih jauh ke dalam ia seakan memberiku
kesempatan. Ketika aku menunduk untuk mengambil garpu yang dengan sengaja aku
jatuhkan, Vera semakin membuka lebar kedua pahanya. Jantungku berdegup sangat
kencang melihat pemandangan indah di dalam rok Vera. Di antara dua paha montok
yang putih dan mulus itu aku melihat celana dalam Vera yang berwarna orange
dan.. Brengsek, transparan!
Dengan cahaya di bawah
meja tentu saja aku tak dapat dengan jelas melihat isi celana dalam orange itu,
tapi itu cukup membuatku gemetar dibakar birahi. Saking gemetarnya aku sampai
terbentur meja ketika hendak bangkit.
“Hi-hi-hi.. Hati-hati
Mas..”, celoteh Vera dengan nada menggoda.
Aku memandang wajah Vera
yang tersenyum nakal padaku, kuberanikan diri memegang tangannya dan ternyata
Vera menyambutnya.
“Hmm.. Maaf, saya cuma mau
bilang kalau Mbak Vera.. Seksi sekali”, dengan malu-malu akhirnya perkataan itu
keluar juga dari mulutku.
“Terima kasih, Mas Aldi juga.. Hmm.. Gagah, lucu dan terutama, Mas Aldi pria yang paling baik yang pernah saya kenal”.
“O ya?”, aku tersanjung juga dengan rayuannya, “Gara-gara saya traktir Mbak?”
“Bukan cuma itu, saya sering memperhatikan Mas di rumah, dan dari cerita Mbak Lia, Mas Aldi sangat perhatian dan rajin membantu pekerjaan di rumah, wah.. Jarang lho Mas, ada pria dengan status sosial seperti Mas yang sudah mapan dan berpendidikan namun masih mau mengepel rumah”.
“Ha-ha-ha..” aku tertawa gembira, “Rupanya bukan cuma saya yang memperhatikan kamu, tapi juga sebaliknya”.
“Jadi Mas Aldi juga sering memperhatikan saya?”
“Betul, saya paling senang melihat kamu membersihkan halaman rumah di pagi hari dan saat menjemur pakaian”.
“Eh.. Kenapa kok senang?”.
“Sebab saya mengagumi keindahan Mbak Vera, juga selera pakaian dalam Mbak”, aku berterus terang.
“Terima kasih, Mas Aldi juga.. Hmm.. Gagah, lucu dan terutama, Mas Aldi pria yang paling baik yang pernah saya kenal”.
“O ya?”, aku tersanjung juga dengan rayuannya, “Gara-gara saya traktir Mbak?”
“Bukan cuma itu, saya sering memperhatikan Mas di rumah, dan dari cerita Mbak Lia, Mas Aldi sangat perhatian dan rajin membantu pekerjaan di rumah, wah.. Jarang lho Mas, ada pria dengan status sosial seperti Mas yang sudah mapan dan berpendidikan namun masih mau mengepel rumah”.
“Ha-ha-ha..” aku tertawa gembira, “Rupanya bukan cuma saya yang memperhatikan kamu, tapi juga sebaliknya”.
“Jadi Mas Aldi juga sering memperhatikan saya?”
“Betul, saya paling senang melihat kamu membersihkan halaman rumah di pagi hari dan saat menjemur pakaian”.
“Eh.. Kenapa kok senang?”.
“Sebab saya mengagumi keindahan Mbak Vera, juga selera pakaian dalam Mbak”, aku berterus terang.
Pembicaraan ini semakin
mempererat kami berdua, seakan tak ada jarak lagi di antara kami. Akhirnya kami
pulang sekitar jam 8 malam. Dalam perjalanan pulang, bayi Mbak Vera tertidur
sehingga ketika sampai di rumah aku membantunya membawa barang belanjaan ke
dalam rumahnya.
Mbak Vera masuk ke kamar
untuk membaringkan bayinya, sementara aku menaruh barang belanjaan di dapur.
Setelah itu aku duduk di ruang tamu menunggu Vera muncul. Sekitar lima menit,
Vera muncul dari dalam kamar, ia ternyata sudah berganti pakaian. Kini wanita
itu mengenakan gaun tidur yang sangat seksi, warnanya putih transparan. Seluruh
lekuk tubuhnya yang montok hingga pakaian dalamnya terlihat jelas olehku.
Sinar lampu ruangan cukup
menerangi pandanganku untuk menjelajahi keindahan tubuh Vera di balik gaun
malamnya yang transparan itu. Buah dadanya terlihat bagaikan buah melon yang
memenuhi bra seksi yang berwarna orange transparan. Di balik bra itu kulihat
samar-samar puting susunya yang juga besar dan coklat kemerahan. Perutnya
memang agak sedikit berlemak dan turun, namun sama sekali tak mengurangi nilai
keindahan tubuhnya. Apalagi jika memandang bagian bawahnya yang montok.
Tak seperti di bawah meja
sewaktu di restoran tadi, kini aku dapat melihat dengan jelas celana dalam
orange transparan milik Vera. Sungguh indah dan merangsang, terutama warna
hitam di bagian tengahnya, membayangkannya saja aku sudah berkali-kali meneguk
ludah.
“Hmm.. Tidak keberatan kan
kalu saya memakai baju tidur?”, tanya Vera memancing.
Sudah sangat jelas kalau
wanita ini ingin mengajakku selingkuh dan melewati malam bersamanya. Kini
keputusan seluruhnya berada di tanganku, apakah aku akan berani mengkhianati
Lia dan menikmati malam bersama tetanggaku yang bahenol ini.
Vera duduk di sampingku,
tercium semerbak aroma parfum dari tubuhnya membuat hatiku semakin bergetar.
Keadaan kini ternyata jauh di luar dugaanku. Kemarin-kemarin aku masih merasa
bermimpi jika bisa membelai dan meremas-remas tubuh Vera, namun kini wanita itu
justru yang menantangku.
“Mas Aldi mau mandi dulu?
Nanti saya siapkan air hangat”, tanya Vera sambil menggenggam tanganku erat.
Dari sorotan matanya
sangat terlihat bahwa wanita ini benar-benar membutuhkan seorang laki-laki
untuk memuaskan kebutuhan biologisnya.
“Hmm.. Sebelum terlalu
jauh, kita harus membuat komitmen dulu Mbak”, kataku agak serius.
“Apa itu Mas?”
“Pertama, terus terang aku mengagumi Mbak Vera, baik fisik maupun pribadi, jadi sebagai laki-laki aku sangat tertarik pada Mbak”, kataku.
“Terima kasih, saya juga begitu pada Mas Aldi”, Vera merebahkan kepalanya di pundakku.
“Kedua, kita sama-sama sudah menikah, jadi kita harus punya tanggung jawab untuk mempertahankan keutuhan rumah tangga kita, apa yang mungkin kita lakukan bersama-sama janganlah menjadi pemecah rumah tangga kita”.
“Setuju, saya sangat setuju Mas, saya hanya ingin punya teman saat saya kesepian, kalau Mas Aldi mau kapanpun Mas bisa datang ke sini, selagi tidak ada suami saya. Tapi saya sekalipun tidak akan meminta apapun dari Mas Aldi, dan sebaliknya saya juga ingin Mas Aldi demikian pula, sehingga hubungan kita akan aman dan saling menguntungkan”.
“Hmm.. Kalau begitu tak ada masalah, saya mau telpon ke rumah, supaya pembantu saya tidak kebingungan”.
“Kalau begitu, Mas Aldi pulang saja dulu, taruh mobil di garasi, kan lucu kalau Mas Aldi bilang ada acara sehingga tidak bisa pulang, sementara mobilnya ada di depan rumah saya”.
“Oh.. Iya, hampir saya lupa”.
“Apa itu Mas?”
“Pertama, terus terang aku mengagumi Mbak Vera, baik fisik maupun pribadi, jadi sebagai laki-laki aku sangat tertarik pada Mbak”, kataku.
“Terima kasih, saya juga begitu pada Mas Aldi”, Vera merebahkan kepalanya di pundakku.
“Kedua, kita sama-sama sudah menikah, jadi kita harus punya tanggung jawab untuk mempertahankan keutuhan rumah tangga kita, apa yang mungkin kita lakukan bersama-sama janganlah menjadi pemecah rumah tangga kita”.
“Setuju, saya sangat setuju Mas, saya hanya ingin punya teman saat saya kesepian, kalau Mas Aldi mau kapanpun Mas bisa datang ke sini, selagi tidak ada suami saya. Tapi saya sekalipun tidak akan meminta apapun dari Mas Aldi, dan sebaliknya saya juga ingin Mas Aldi demikian pula, sehingga hubungan kita akan aman dan saling menguntungkan”.
“Hmm.. Kalau begitu tak ada masalah, saya mau telpon ke rumah, supaya pembantu saya tidak kebingungan”.
“Kalau begitu, Mas Aldi pulang saja dulu, taruh mobil di garasi, kan lucu kalau Mas Aldi bilang ada acara sehingga tidak bisa pulang, sementara mobilnya ada di depan rumah saya”.
“Oh.. Iya, hampir saya lupa”.
Aku segera keluar dan
pulang dulu ke rumah, menaruh mobil di garasi dan mandi. Setelah itu aku mau
bilang pada pembantuku kalau aku akan menginap di rumah temanku. Namun tidak
jadi karena pembantuku ternyata sudah tidur.
Aku segera datang kembali
ke rumah Vera. Wanita itu sudah menungguku di ruang tamu dengan secangkir teh
hangat di atas meja. Pahanya yang montok terpampang indah di atas sofa.
“Wah.. Ternyata mandi di
rumah ya? Padahal saya sudah siapkan air hangat”.
“Terima kasih, Mbak Vera baik sekali”.
“Terima kasih, Mbak Vera baik sekali”.
Wanita itu berjalan
menutup pintu rumah, dari belakang aku memandang kemontokan pantatnya yang
besar dan padat. Kebesaran pantat itu tak mampu dibendung oleh celana dalam
orange itu, sehingga memperlihatkan belahannya yang merangsang. Seperti tak
sadar aku menghampiri Vera, lalu dengan nakal kedua tanganku mencengkeram
pantatnya, dan meremasnya.
“Uhh..”, Vera agak kaget
dan menggelinjang.
“Maaf”, kataku.
“Tidak apa-apa Mas, justru.. Enak”, kata Vera seraya tersenyum nakal memandangku. Senyum itu membuat bibir sensualnya seakan mengundangku untuk melumatnya.
“Crup..!”, aku segera menciumnya, Vera membalasnya dengan liar.
“Maaf”, kataku.
“Tidak apa-apa Mas, justru.. Enak”, kata Vera seraya tersenyum nakal memandangku. Senyum itu membuat bibir sensualnya seakan mengundangku untuk melumatnya.
“Crup..!”, aku segera menciumnya, Vera membalasnya dengan liar.
Aku tak tahu sudah berapa
lama bibir itu tak merasakan ciuman laki-laki, yang jelas ciuman Vera sangat
panas dan liar. Berkali-kali wanita itu nyaris menggigit bibirku, lidahnya yang
basah meliuk-liuk dalam rongga mulutku. Aku semakin bernafsu, tanganku menjalar
di sekujur tubuhnya, berhenti di kemontokan pantatnya dan kemudian
meremas-remas penuh birahi.
“Ohh.. Ergh..”, lenguh
Vera di sela-sela ciuman panasnya.
Dengan beberapa gerakan,
Vera meloloskan gaun tidurnya hingga terjatuh di lantai. Kini wanita itu hanya
mengenakan Bra dan CD yang berwarna orange dan transparan itu. Aku terpaku
sejenak mengagumi keindahan pemandangan tubuh Vera.
“Wowww.. Kamu..
Benar-benar seksi Mbak”, pujiku ,”Buah dada Mbak besar sekali”
“Hi-hi-hi.. Punya Lia kecil ya? Paling 34 A, iya kan? Nah coba tebak ukuran saya?”, tanyanya seraya memegang kedua buah melon di dadanya itu.
“36 B”, jawabku.
“Salah”
“36 C”.
“Masih salah, sudah lihat aja nih”, Vera membuka pengait Bra-nya, sehingga kedua buah montok itu serasa hampir mau jatuh. Ia membuka dan melempar bra orange itu kepadaku.
“Gila.. 36 D!”, kataku membaca ukuran yang tertera di bra itu.
“Boleh saya pegang Mbak?”, tanyaku basa-basi.
“Jangan cuma dipegang dong Mas, remas.. Dan kulum nih.. Putingnya”, kata Vera dengan gaya nakal bagaikan pereks jalanan.
“Hi-hi-hi.. Punya Lia kecil ya? Paling 34 A, iya kan? Nah coba tebak ukuran saya?”, tanyanya seraya memegang kedua buah melon di dadanya itu.
“36 B”, jawabku.
“Salah”
“36 C”.
“Masih salah, sudah lihat aja nih”, Vera membuka pengait Bra-nya, sehingga kedua buah montok itu serasa hampir mau jatuh. Ia membuka dan melempar bra orange itu kepadaku.
“Gila.. 36 D!”, kataku membaca ukuran yang tertera di bra itu.
“Boleh saya pegang Mbak?”, tanyaku basa-basi.
“Jangan cuma dipegang dong Mas, remas.. Dan kulum nih.. Putingnya”, kata Vera dengan gaya nakal bagaikan pereks jalanan.
Wanita itu menjatuhkan
tubuh indahnya di atas sofa, aku memburunya dan segera menikmati kemontokan
buah melonnya. Kuremas-remas dua buah dada montok itu, kemudian kuciumi dan
terakhir kukulum puting susunya yang sebesar ibu jari dengan sekali-kali
memainkannya di antara gigi-gigiku. Vera menggelinjang-gelinjang keenakan,
napasnya semakin terdengar resah, berkali-kali ia mengeluarkan kata-kata jorok
yang justru membuatku semakin bernafsu.
“Ngentot, enak banget
Mas..” jeritnya, “Ayo Mas.. Saya sudah kepingin penetrasi nih!”.
Aku yang juga sudah sangat
bernafsu segera menjawab keinginan Vera. Dengan bantuan Vera aku menelanjangi
diriku sehingga tak tersisa satupun busana di tubuhku. Vera sangat gembira
melihat ukuran penisku yang lumayan panjang dan besar itu.
“Ohh.. Besar juga ya..”
jeritnya.
Ia benar-benar bertingkah
bagaikan perek murahan, namun justru itu yang kusuka. Wanita itu segera membuka
CD orange sebagai kain terakhir di tubuhnya. Kulihat daerah bukit kemaluannya
yang ditumbuhi rambut-rambut liar, dengan segaris bibir membelah
ditengah-tengahnya. Bibir yang merah dan basah, sangat basah. Ingin rasanya aku
menikmati keindahan bibir kenikmatan Vera, namun ketika aku ingin
melaksanakannya ia menampikku.
“Sudah, nanti saja, masih
ada babak selanjutnya, sekarang ayo kita selesaikan babak pertama”.
Vera duduk mengangkang di
atas sofa. Kedua kakinya dibuka lebar-lebar mempersilakan kepadaku untuk
melakukan penetrasi kenikmatan sesungguhnya. Aku pun segera menyiapkan
senjataku, mengarahkan ujung penisku tepat di depan liang vagina Vera dan
perlahan tapi pasti menekannya masuk.
Sedikit-demi sedikit
penisku tenggelam dalam kehangatan liang Vera yang basah dan nikmat. Ketika
hampir seluruh batang penisku yang berukuran 20 cm itu memasuki vagina, aku
mencabutnya kembali. Kemudian kembali memasukkannya perlahan.
“Enghh.. Gila kamu Mas,
kalau begini sebentar saja saya puas”, jerit Vera keenakan.
“Tak apa Mbak, silahkan orgasme, kan masih ada babak selanjutnya”, tantangku. Kini kutambah rangsangan dengan meremas dan memilin puting susunya yang besar.
“Ohh.. Ohh.. Benar-benar enak Mas”, Vera memejamkan matanya.
Pada penetrasi kelima, Vera menjerit, “Sudah Mas, jangan tarik lagi, saya mau.. Mau.. Oh..!”
“Tak apa Mbak, silahkan orgasme, kan masih ada babak selanjutnya”, tantangku. Kini kutambah rangsangan dengan meremas dan memilin puting susunya yang besar.
“Ohh.. Ohh.. Benar-benar enak Mas”, Vera memejamkan matanya.
Pada penetrasi kelima, Vera menjerit, “Sudah Mas, jangan tarik lagi, saya mau.. Mau.. Oh..!”
Dinding vagina Vera
melejat-lejat seakan memijit batang penisku dalam kenikmatan birahi yang sedang
direguknya.
“Oh.. Saya sudah sekali Mas”,
katanya sambil menarik nafas.
“Mas mau puas dulu atau mau lanjut babak kedua?”, tanya Vera.
“Terserah Mbak”, kataku. Aku sih pasrah saja.
“Sini, saya emut saja dulu”.
“Hmm.. Boleh juga, Lia belum pernah oral dengan saya”, aku mencabut penisku dari dalam vagina Vera yang basah dan menyodorkannya ke Vera.
“Mas mau puas dulu atau mau lanjut babak kedua?”, tanya Vera.
“Terserah Mbak”, kataku. Aku sih pasrah saja.
“Sini, saya emut saja dulu”.
“Hmm.. Boleh juga, Lia belum pernah oral dengan saya”, aku mencabut penisku dari dalam vagina Vera yang basah dan menyodorkannya ke Vera.
Wanita itu menjilati ujung
penisku dengan lidahnya seakan membersihkannya dari cairan vaginanya sendiri,
kemudian dengan sangat bernafsu ia memasukkan penisku ke dalam mulutnya. Bibir
seksi Vera terlihat menyedot-nyedot penisku seakan menyedot spermaku untuk
keluar. Ia kemudian mengocok penisku dalam mulutnya hingga birahiku mencapai
puncaknya.
“Oh.. Saya mau keluar nih,
gimana?”, aku bingung apakah aku harus mengeluarkan spermaku ke dalam mulutnya
atau mencabutnya.
Namun Vera hanya
mengangguk dan terus mengocoknya pertanda ia tak keberatan jika aku memuntahkan
spermaku ke dalam mulutnya.
Akhirnya aku mencapai orgasme dan memuntahkan semua spermaku ke dalam mulut Vera. Wanita itu tanpa segan-segan menelan seluruh spermaku. Sungguh lihai wanita ini memuaskan birahi laki-laki!
Akhirnya aku mencapai orgasme dan memuntahkan semua spermaku ke dalam mulut Vera. Wanita itu tanpa segan-segan menelan seluruh spermaku. Sungguh lihai wanita ini memuaskan birahi laki-laki!
Kami duduk sebentar dan
minum air dingin, kemudian Vera mengangkangkan kakinya kembali.
“Nah.. Sekarang babak
kedua Mas, kalau mau jilat dulu silahkan, tapi utamakan yang ini ya”, Vera
menunjuk ke arah klitorisnya yang agak besar.
“Oke Mbak, saya juga sudah biasa kok”, seruku.
“Oke Mbak, saya juga sudah biasa kok”, seruku.
Sejurus kemudian aku sudah
berada di hadapan bibir kemaluan Vera yang baru saja aku nikmati. Sebelum
kujilat terlebih dahulu kubelai bibir itu dari ujung bawah hingga klitoris.
Kusingkap rambut-rambut kemaluannya yang menjalari bibir itu.
“Sudah gondrong nih Mbak”,
seruku.
“Oh iya, habis mau dicukur percuma juga, enggak ada yang lihat dan jilat”, jawabnya nakal, “Besok pagi saya cukur deh, tapi janji malamnya Mas Aldi datang lagi ya..”.
“Oke.. Pokoknya setiap ada kesempatan saya siap menemani Mbak Vera”.
“Oh iya, habis mau dicukur percuma juga, enggak ada yang lihat dan jilat”, jawabnya nakal, “Besok pagi saya cukur deh, tapi janji malamnya Mas Aldi datang lagi ya..”.
“Oke.. Pokoknya setiap ada kesempatan saya siap menemani Mbak Vera”.
Aku kemudian asyik
menjilati dan menciumi labium mayora dan minora Vera. Cairan vagina Vera sudah
mulai mengalir kembali pertanda ia sudah terangsang kembali. Desahan Vera juga
memperkuat tanda bahwa Vera menikmati permainan oralku. Dengan nakal aku
memasukkan jari telunjuk dan tengahku ke dalam vaginanya dan kemudian
mengobok-obok liang becek itu.
“Yes.. Asyik banget.. Say
sudah siap babak kedua Mas”, seru Vera.
Aku sendiri sudah
terangsang sejak melihat keindahan selangkangan Vera, jadi penisku sudah siap
menunaikan tugas keduanya. Vera menungging di atas sofa.
“Sekarang doggy-style ya
Mas..”
Aku sih iya saja, maklum..
Sama enaknya..
Sejurus kemudian kami
sudah terlibat permainan babak kedua yang tak kalah seru dan panas dengan babak
pertama, hanya kali ini aku memuntahkan sperma di dalam vaginanya.
Malam masih begitu
panjang. Kami masih menikmati dua permainan lagi sebelum kelelahan dan
mengantuk. Vera begitu bahagia, dan aku sendiri merasa puas dan lega. Mimpiku
untuk menikmati tubuh montok tetanggaku terlaksana sudah. Bahkan kini setiap
waktu jika Lia dinas ke luar kota maka Vera secara resmi menggantikan posisi
Lia sebagai isteriku. Asyik juga. Namun sebagai imbalannya aku mencarikan dan
menggaji pembantu rumah tangga di rumah Vera. Betapa bahagianya Vera dengan
bantuanku itu, ia semakin sayang padaku dan berjanji akan melayaniku jauh lebih
memuaskan dibanding pelayanan kepada suaminya.
Dari kejadian tersebut aku
semakin menyadari kebenaran pepatah: “Rumput tetangga memang selalu terlihat
lebih hijau”, atau bisa diganti dengan: “Vagina isteri tetangga selalu terasa
lebih nikmat”.